Kamis, 11 Oktober 2012

PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Tidak sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik yang belum memahami konsep bank syariah. Mereka beranggapan bagi hasil dan bagi hasil adalah sama dengan bunga. Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sitem bunga. Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustadz yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil.
Dalam tulisan ini akan diuraikan setidaknya lima perbedaan mendasar antara bank syariah dan bank konvensional yakni dari segi pengertian, akad dan aspek legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja serta corporate culture.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi pengertian?
2.    Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi akad dan aspek legalitas?
3.    Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi lembaga penyelesaian sengketa?
4.    Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi bisnis dan usaha yang dibiayai?
5.    Bagaimana perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi lingkungan kerja dan corporate culture?

C.  Tujuan Pembahasan
  1. Mengetahui perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi pengertian?
  2. Menengetahui perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi akad dan aspek legalitas?
  3. Mengetahui perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi lembaga penyelesaian sengketa?
  4. Mengetahui perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi bisnis dan usaha yang dibiayai?
  5. Mengetahui perbedaan bank syariah dan bank konvensional dilihat dari segi lingkungan kerja dan corporate culture?



BAB II
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
                                                 
            Bank syariah merupakan bank yang secara operasional berbeda dengan bank konvensional. Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan yang mendasar diantara keduanya yang menyangkut  akad dan asek legalitas, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja serta corporate culture.

A.  Pengertian Bank
1.    Pengertian Bank Konvensional
Pengertian bank menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank konvensional dapat didefinisikan seperti pada pengertian bank umum pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dengan menghilangkan kalimat “dan atau berdasarkan prinsip syariah”, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2.    Bank Syariah
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Menurut Antonio dan Perwataatmadja yang dikutip oleh Ismail dalam buku Perbankan Syariah Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits.[1]
Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan yariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut :[2]
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu:
a. Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Depository)
b. Wadiah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah:
a. Al-Mudharabah
b. Al-Musyarakah
3. Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, imana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin).
4. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa.
5. Prinsip Jasa (Fee-Based Service)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.

B.  Akad Dan Aspek Legalitas
Fikih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Akad merupakan suatu kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu[3]. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehingga kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut[4]
1.    Rukun, seperti penjual, pembeli, barang, harga dan ijab qabul.
2.    Syarat, seperti:
a.    Barang dan jasa harus halal.
b.    Harga barang dan jasa harus jelas
c.    Tempat penyerahan harus jelas.
d.   Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.

C.  Struktur Organisasi
Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan bank syariah adalah kewajiban memposisikan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada perbankan syariah. Demikian juga halnya di Indonesia, sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian. Dewan pengawas syariah merupakan satu dewan pakar ekonomi dan ulama yang menguasai bidang fiqh mu’amalah (Islamic commercial jurisprudence) yang berdiri sendiri dan bertugas mengamati dan mengawasi operasional bank dan semua produk-produknya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Dewan pengawas syariah (The Shari’a Supervisory Board) mesti melihat secara teliti bagaimana bentuk-bentuk perikatan / akad (agrements, appointment and engagement) yang dilaksanakan oleh institusi keuangan syariah. Dewan ini ditempatkan sejajar dengan dewan komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Dewan ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan dibolehkan menunjuk beberapa orang pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun anggotanya tidak boleh merangkap sebagai director atau komisaris utama (President Commissioner atau significant shareholders) dari institusi keuangan syariah tersebut.2 Pembubaran atau penggantian anggota dewan syariah mesti mendapat rekomendasi directors dan dikehendaki mendapat pengesahan dari pemegang saham (shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau general meeting.
Di Indonesia, Dewan Pengawas Syariah (DPS) mempunyai peranan yang sangat penting dalam perbankan / institusi keuangan syariah yaitu:
1.    Membuat persetujuan garis panduan operasional produk perbankan syariah tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah disusun oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
2.    Membuat pernyataan secara berkala pada setiap tahun tentang bank syariah yang berada dalam pengawasannya bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam laporan tahunan (annual report) institusi syariah, maka laporan dari Dewan Pengawas Syariah mesti dibuat dengan jelas.
3.    Dewan Pengawas Syariah wajib membuat laporan tentang perkembangan dan aplikasi sistem keuangan syariah (Islam) di institusi keuangan syariah khususnya bank syariah yang berada dalam pengawasannya, sekurang-kurangnnya enam bulan sekali.4 Laporan tersebut diberikan kepada Bank Indonesia yang berada di Ibu kota provinsi dan atau Bank Indonesia di Ibu kota negara Indonesia-Jakarta.
4.    Dewan Pengawas Syariah juga berkewajiban meneliti dan membuat rekomendasi jika ada inovasi produk-produk baru dari bank yang diawasinya. Dewan inilah yang melakukan pengkajian awal sebelum produk yang baru dari bank syariah tersebut diusulkan, diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
5.    Membantu sosialisasi perbankan / institusi keuangan syariah kepada masyarakat.
6.    Memberikan masukan (in-put) bagi pengembangan dan kemajuan institusi kewangan syariah.
Dengan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap Bank Umum Syariah yang berpusat di ibu kota negara Indonesia-Jakarta, maka tidak menolak kemungkinan timbulnya berbagai perbedaan pendapat (ijtihad) tentang beberapa produk perbankan syariah antara satu bank syariah dengan bank syariah yang lain. Hal in akan membingungkan para nasabah (customers) dan menyukarkan untuk menyatukan persepsi umat Islam terhadap perbankan syariah di Indonesia. Oleh sebab itu didirikanlah Dewan Syariah Nasional (DSN) yang mengetuai semua institusi keuangan syariah di Indonesia.
Fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah :
1.    Mengawasi semua produk-produk semua institusi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Tugas dewan ini lebih luas daripada Dewan Pengawas Syariah yang ada di setiap bank syariah atau institusi keuangan syariah di Indonesia. Dewan Syariah Nasional tidak hanya mengawasi perbankan syariah tetapi juga institusi-institusi keuangan syariah lainnya seperti asuransi syariah, reksadana syariah, modal ventura, dan lain-lain sebagainya.
2.    Untuk kesatuan dalam pelaksanan sistem syariah di setiap institusi keuangan syariah di Indonesia, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan yang dipatuhi oleh semua Dewan Pengawas Syariah yang ada pada setiap institusi keuangan Syariah untuk mengawasi jalanya sistem syariah di setiap institusi keuangan syariah tersebut.
3.    Dewan Syariah Nasional juga bertugas meneliti ulang dan memberikan fatwa atas segala bentuk produk yang diusulkan dan dikembangkan oleh institusi keuangan syariah.
4.    Dewan Syariah Nasional juga mengesahkan usulan nama-nama orang yang akan disahkan menjadi Dewan Pengawas Syariah yang berada di setiap institusi keuangan syariah. Selain itu, Dewan Syariah Nasional juga memberi cadangan para ulama/intelektual Muslim yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di institusi keuangan syariah.

D.  Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum syariah. Lembaga yang mengatur hukum berdasar prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arrbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.[5]
Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hail pertemuan antara dewan pimpinan MUI dengan pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 7 Oktober 2003, maka MUI dengan SKnya No.Kep 09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003, menetapkan:
1.    Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indoesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
2.    Mengubah bentuk badan dari yayasan menjadi badan yang berada d bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
3.    BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Tugas dan kewenangan BASYARNAS:[6]
1.    Menyelesaikan perselisihan dan sengketa keperdataan dengan prinsip yang mengutamakan perdamaian.
2.    Menyelesaiakan sengketa keperdataan antara bank syariah dengan nasabahnya yang menjadikan syariah sebagai dasarnya.
3.    Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa muamalat yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa dan lain-lain.
4.    Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Mekanisme operasional BASYARNAS:[7]
1.    Permohonan untuk mengadakan arbitrasi
2.    Penetapan arbiter
3.    Acara pemeriksaan
4.    Perdamaian
5.    Pembuktian dan saksi
6.    Berakhirnya pemeriksaan
7.    Pengambilan putusan
8.    Perbaikan putusan
9.    Pembatalan putusan
10.     Pendaftaran putusan
11.     Pelaksanaan putusan
12.     Biaya arbitrase
Mengenai kewenangan kompetensi absolut terhadap penyelesaian permasalahan hukum antara nasabah dan bank syariah, telah diatur dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55 ayat 1 “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Hal tersebut telah diperkuat dengan UU No.3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 49.
           
E.  Bisnis Dan Usaha Yang Dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalammnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:[8]
1.    Usaha yang dibiayai merupakan proyek halal
2.    Usaha  yang bermanfaat bagi masyarakat
3.    Usaha yang menguntungkan bagi bank dan mitra usahanya.
Sebaliknya bank konvensional, tidak mempertimbangkan jenis investasinya, akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang menguntungkan, meskipun menurut syariah Islam tergolong produk yang tidak halal.

F.   Lingkungan Kerja Dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika misalnya sifat amanah dan shiddiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutuf muslim yang baik. Disamping itu karyawan bank syariah harus skillful dan profesional dan mampu melakukan tugas-tugas teamwork.
Selain itu, cara perpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.

G. Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut.[9]

Bank Syariah
Bank Konvesional
1.    Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
1.     Investasi yang halal dan haram.
2.    Berdasarkan prinsip bagi hasil
·      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
·      Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
·      Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
·      Kerugian ditanggung bersama
·      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
·      Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
2.     Memakai perangkat bunga
·      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
·      Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
·      Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
·      Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
·      Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
·      Eksistensi bunga diragukan
3.    Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat
3.     Profit oriented

4.    Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
4.     Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5.    Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah

5.     Tidak terdapat dewan sejenis







BAB III
KESIMPULAN

1.    Bank konvensional yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2.    Akad merupakan suatu kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
3.    Secara organisatoris, bank syariah dan bank konvensional itu sama. Perbedaannya cuma satu, bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah.
4.    Pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya di BASYARNAS.
5.    Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah, yakni usaha yang di dalammnya tidak terkandung hal-hal yang diharamkan.
6.    Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah.
7.    Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akd dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture.





DAFTAR PUSTAKA

Amuaz, Perbedaan Karakteristik Bank Syariah dan Bank Konvensional, 2008,  http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/06/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional-2/
Ismail, Perbankan Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,  2011.
Karim, Adiwarman, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.
Murni, Asfia, Ekonomika Makro, Refika Aditama, Bandung,  2009.



[1]Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2011, 32.
[2]Asfia Murni, Ekonomika Makro, Bandung: Refika Aditama, 2009,  127-130.
[3]Adiwarman Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, 63.
[4]Rachdian , Perbedaan Antara Banak Syariah Dan Bank Konvensional,2011, http://databaseartikel.com/ekonomi/perbankan-ekonomi/20118034-perbedaan-antara-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html , (23 Maret 2012)
[5]Amuaz, Perbedaan Karakteristik Bank Syariah dan Bank Konvensional, 2008, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/06/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional-2/ (25 Maret 2012)
[6]Robby Barokah, Makalah BASYARNAS, 2009, http://robbybarokah.blogspot.com/2009/06/makalah-basyarnas.html?m=1, (28 Maret 2012)
[7]Robby Barokah :”Makalah BASYARNAS”…
[8]Drs. Ismail, MBA.,Ak., Perbankan Syariah…,34
[9]Asfia Murni, Ekonomika Makro…,126.

4 komentar:

  1. 2. Bank syariah dan konvensional sama saja haramnya.
    3. SISTEM AUDIT PADA PERBANKAN SYARI'AH
    Indonesia telah menetapkan Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah yang mengatur tentang legalitas Perbankan Syaria’h. Ciri utama Perbankan Syari’ah adalah berdasarkan bagi hasil antara pemilik harta sebagai shahib al-mal atau nasabah dan pihak bank sebagai pengelola atau mudlarib. Dengan kesepakatan nisbah (prosentase bagi hasil) sesuai kesepakatan para pihak. Dalam kesepakatannya, biasanya antara 70 % banding 30 %, 65 % banding 35 % atau 60 % banding 40 %. Ironisnya, pembagian bagi hasil itu selalu dibawah prosentase bunga bank konvensional. Bahkan dalam prakteknya, antar satu bank dengan bank lainnya meskipun sama dalam memberikan nisbah-nya tetapi hasilnya berbeda. Menurut prakteknya, sistem audit, administrasi dan penghitungannya masing-masing Perbankan Syari’ah berbeda.
    Pertanyaan:
    a. Bagaimana hukum penghitungan nisbah bagi hasil perbankan yang tidak diketahui oleh pihak nasabah padahal dalam akad telah disebutkan nisbah-nya?
    b. Bagaimana hukumnya jika perhitungan atau audit keuangannya tidak menggunakan sistem yang Islami?
    Jawaban ku:
    a. Perhitungan nisbah bagi hasil yang tidak diketahui oleh nasabah, tidak dibenarkan, sebab perhitungan harus dilakukan di hadapan nasabah. Disamping itu akadnya batal, sebab perhitungan dan pembagian laba harus dilakukan setelah berakhirnya mudharabah (pengembalian ra'sul mal).
    b. Hukumnya tidak sah dan tidak dibenarkan.
    Catatan:
    Mudlarabah dianggap sah dan dibenarkan jika memenuhi persyaratan sbb:
    1. Ada kesepakatan prosentase laba yang jelas
    2. Tidak dibatasi oleh masa tertentu
    3. 'Amil tidak menanggung resiko kecuali disebabkan oleh kecerobohannya
    4. Laba dijadikan penjamin apabila terjadi kerugian (baca Kifayah al-Akhyar, Juz I, H. 303-304)
    Referensi:
    6. المغنى شرح الكبير ج 5 ص 149
    وإن دفع إليه ألفين مضاربة على
    7. بداية المجتهد ونهاية المقتصد ج 1 ص 591
    وأجمع علماء الامصار على أنه لا يجوز للعامل أن يأخذ نصيبه من الربح إلا بحضرة رب المال
    8. الفقه الإسلامي ج 7 ص 5065
    الأصل العام المقرر فى المضاربة الخاصة: أن كل تعاقد ثنائي قائم بذاته،.
    9. الفقه الإسلامي ج 4 ص 860
    وأما الربح الناتج من المضاربة فيوزع حسب الشرط فيعطى

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum

    afwan ya ukhti, saya mengcopas makalahnya. saya mohon izin dan keikhlasan. kebetulan saya sangat membutuhkan materi-materi ini, untuk laporan dadakan. terimakasih.

    salam,
    Cke

    BalasHapus
  3. assalam'mualaikum

    ijin meng copas materi yang anda buat yah... karena materi yang anda buat ada yang saya butuhkan buat tugas akhir...
    terimakasih semoga berkah... amin

    wasalammualaikum...

    BalasHapus
  4. izin copas ya.. ini sangat membantu sekali ... . thanks...

    BalasHapus